Jual Gabah masih Dianggap Tabu, ”Alamaik cilako nan ka tibo “
Bisnis jual beli gabah, nyaris tak pernah ada di bumi Sarantau Sasurambi. Sejak zaman nenek moyang, padi tidak pernah ditukarkan langsung dengan uang. Tak heran bila ada orang luar yang datang, tak akan pernah tahu berapa harga gabah di Kabupaten Solok Selatan (solsel). Ke sudut manapun dicari, takkan didapatkan informasi harga pasarannya. Meskipun daerah itu tercatat sebagai kawasan agraris.
Kondisi itu semakin kental terasa, ketika koran ini menelusuri Kecamatan Sungaipagu. Salah satu daerah di Solsel yang punya lahan pertanian cukup luas di Kabupaten Solsel. Sejak Maret 2009, di sana telah memasuki masa panen. Padi menguning, masyarakat mulai turun ke sawah. Plastik merah bata yang biasanya dipakai untuk tenda pedagang, digelar petani sebagai lapiak (tikar) meletakkan bulir-bulir padi lengkap dengan batangnya.
Setelah padi dipisah dengan jerami, lalu diangin-anginkan. Dikumpulkan, maka tampaklah onggokan padi menggunung, jerih payah empat bulan belakang. Sesekali canda terdengar riuh. Maklum, pada jam makan siang, petani di sekitar itu berkumpul. Namun, tawa terasa hambar saat Koran ini menanyakan berapa harga yang dipatok untuk gabah kering. Mereka saling bertatapan. Bingung, apa yang akan dijawab.
Darni, 43, salah satu dari mereka angkat bicara. “Di siko ndak ado satupun nan barani manjua padi do diak. Itu marupokan pantangan di siko,” ujar ibu dua anak itu. Sudah jadi kebiasaan, bahwa padi bukan untuk dijual. Padi merupakan stok, karena bisa disimpan dalam jangka waktu yang cukup lama. Wanita parobaya itu bercerita, dulunya nenek moyang mereka hanya menjual hasil pertanian selain padi untuk menutupi kebutuhan hidup. Misalnya, palawija, kopi, karet atau kayumanis. Stok padi tetap ditahan.
Tapi kini, terlebih semenjak harga komoditi tersebut jatuh, semua keperluan bertumpu pada hasil pertanian dari sawah. Kebutuhan semakin meningkat. Biaya sekolah anak, dan kebutuhan rumah tangga lainnya. Terpaksa menjual hasil dari sawah. Itupun harus ditumbuk dulu menjadi beras. Baru kemudian dijual dipasaran. “Manjual padi langsung, ndak ado di Sungaipagu ko do. Samiskin-miskinnyo urang, inyo ndak kan parnah amuah manjual padinyo,” imbuhnya kepada koran ini.
Darni juga mengisahkan, sebelum panen, dulunya banyak prosesi yang harus dilakukan. Ungkapan rasa syukur pada Sang Pencipta, yang telah melimpahkan rahmat-Nya. Misalnya, padi harus dituai dulu tiga batang. Melihat betapa teguhnya petani menjaga nilai-nilai kebudayaan, tak heran jika tengkulak takkan berani berkeliaran di daerah itu. (***)
Sumber:
http://www.padangekspres.co.id/content/view/35787/104/
Bisnis jual beli gabah, nyaris tak pernah ada di bumi Sarantau Sasurambi. Sejak zaman nenek moyang, padi tidak pernah ditukarkan langsung dengan uang. Tak heran bila ada orang luar yang datang, tak akan pernah tahu berapa harga gabah di Kabupaten Solok Selatan (solsel). Ke sudut manapun dicari, takkan didapatkan informasi harga pasarannya. Meskipun daerah itu tercatat sebagai kawasan agraris.
Kondisi itu semakin kental terasa, ketika koran ini menelusuri Kecamatan Sungaipagu. Salah satu daerah di Solsel yang punya lahan pertanian cukup luas di Kabupaten Solsel. Sejak Maret 2009, di sana telah memasuki masa panen. Padi menguning, masyarakat mulai turun ke sawah. Plastik merah bata yang biasanya dipakai untuk tenda pedagang, digelar petani sebagai lapiak (tikar) meletakkan bulir-bulir padi lengkap dengan batangnya.
Setelah padi dipisah dengan jerami, lalu diangin-anginkan. Dikumpulkan, maka tampaklah onggokan padi menggunung, jerih payah empat bulan belakang. Sesekali canda terdengar riuh. Maklum, pada jam makan siang, petani di sekitar itu berkumpul. Namun, tawa terasa hambar saat Koran ini menanyakan berapa harga yang dipatok untuk gabah kering. Mereka saling bertatapan. Bingung, apa yang akan dijawab.
Darni, 43, salah satu dari mereka angkat bicara. “Di siko ndak ado satupun nan barani manjua padi do diak. Itu marupokan pantangan di siko,” ujar ibu dua anak itu. Sudah jadi kebiasaan, bahwa padi bukan untuk dijual. Padi merupakan stok, karena bisa disimpan dalam jangka waktu yang cukup lama. Wanita parobaya itu bercerita, dulunya nenek moyang mereka hanya menjual hasil pertanian selain padi untuk menutupi kebutuhan hidup. Misalnya, palawija, kopi, karet atau kayumanis. Stok padi tetap ditahan.
Tapi kini, terlebih semenjak harga komoditi tersebut jatuh, semua keperluan bertumpu pada hasil pertanian dari sawah. Kebutuhan semakin meningkat. Biaya sekolah anak, dan kebutuhan rumah tangga lainnya. Terpaksa menjual hasil dari sawah. Itupun harus ditumbuk dulu menjadi beras. Baru kemudian dijual dipasaran. “Manjual padi langsung, ndak ado di Sungaipagu ko do. Samiskin-miskinnyo urang, inyo ndak kan parnah amuah manjual padinyo,” imbuhnya kepada koran ini.
Darni juga mengisahkan, sebelum panen, dulunya banyak prosesi yang harus dilakukan. Ungkapan rasa syukur pada Sang Pencipta, yang telah melimpahkan rahmat-Nya. Misalnya, padi harus dituai dulu tiga batang. Melihat betapa teguhnya petani menjaga nilai-nilai kebudayaan, tak heran jika tengkulak takkan berani berkeliaran di daerah itu. (***)
Sumber:
http://www.padangekspres.co.id/content/view/35787/104/
No comments:
Post a Comment